Rabu, 20 April 2016

Review Film : THE IRON LADY


Tanggal rilis:
13 Januari 2012
Genre:
Drama, Biografi, Politik

Durasi:
105 menit

Sutradara:
Phyllida Lloyd

Pemeran:
Meryl Streep, Jim Broadbent, Richard E. Grant, Anthony Head

Studio:
UK Film Council, Canal+

Siapa bilang wanita tidak bisa memimpin pemerintahan sebuah negara? Salah satu bukti nyata dan sosok legendaris yang menepis anggapan tersebut adalah Margaret Thatcher. Sebagai seorang wanita yang ambisius, Thatcher telah berhasil menjadi Perdana Menteri wanita pertama di Inggris dan masa jabatannya pun terhitung paling lama di abad 20 ini, yaitu dari 4 Mei 1979 hingga 28 November 1990. Kebijakan ketat yang bertolak belakang dengan serikat buruh, serta kegigihannya dalam menentang Uni Soviet membuat Thatcher mendapat panggilan “Iron Lady”. Dari panggilan inilah judul film garapan Phyllida Lloyd diambil.
Film The Iron Lady menceritakan tentang kehidupan Margaret sejak masa remaja hingga beranjak menjadi wanita tua yang mengidap dementia. Semasa remaja, Margaret selalu tertarik mendengar pidato-pidato politik ayahnya yang pada saat itu menjabat sebagai anggota dewan kota. Wanita yang terlahir di keluarga kelas menengah ini pun terinspirasi untuk berkarir di dunia politik melalui partai konservatif dan berjuang untuk memperoleh tempat di gedung parlemen Inggris. Tentunya, perjuangannya ini tidak berjalan dengan mulus. Dalam dunia yang masih didominasi oleh pria, kehadiran dan setiap pendapat yang dilontarkan dengan tegas oleh Margaret sering kali diremehkan. Namun, dengan dukungan suaminya, Denis, Margaret pun berhasil memanjat tangga kesuksesan politik hingga menjabat sebagai seorang Perdana Menteri.
Karir Margaret sebagai seorang Perdana Menteri dihiasi dengan beragam tantangan keras yang menguji kegigihan, keberanian, dan ketegasannya sebagai seorang pemimpin. Dalam film ini, Lloyd memasukkan kejadian-kejadian krusial selama masa jabatan Margaret, dari peningkatan jumlah pengangguran dan anggaran ketat yang membawa kepada kerusuhan Brixton di tahun 1981, perang Falklands di tahun 1982, demonstrasi penambang dari tahun 1984 hingga 1985, hingga pengeboman Grand Hotel di Brighton pada saat Konferensi Partai Konservatif 1984 yang hampir merenggut nyawa Margaret dan Denis.
Film ini diawali dengan penggambaran Margaret yang telah berusia 86 tahun dan menderita dementia, halusinasi, serta kondisi fisik yang menurun akibat usia tua. Selama jalannya film, Margaret tua yang mulai mengingat-ingat perjalanan karir politiknya menjadi pusat cerita. Transisi antara penggambaran masa sekarang dengan memori-memori di masa lalu berhasil dieksekusi dengan baik dan meminimalisasi tingkat kebingungan penonton.
Sayangnya, tidak semua orang menanggapi film ini secara positif. Sejumlah anggota keluarga dan pendukung Margaret dikabarkan telah mengungkapkan ketidaksenangannya terhadap penggambaran Margaret tua yang terlihat rapuh dan linglung. Walaupun begitu, bagi saya pribadi, The Iron Lady merupakan film drama sejarah yang patut ditonton. Apalagi film ini menunjukkan perjuangan gigih seorang wanita untuk menjadi pemimpin yang tegas di Inggris. Jadi, siapa bilang wanita tidak bisa memimpin?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar